JUDUL FILM : BUAH HATI MAMA
SUTRADARA : SOPHAN SOPHIAN
PRODUSER : DEDDY ARMAND, JOHANNA SYARIEF
PRODUKSI : PT. VISINDO INTI NUSANTARA FILM
PENULIS : MAKMUR HENDRIK
TAHUN PROD : 1980
JENIS : FILM KELUARGA
PEMAIN : SOPHAN SOPHIAN, WIDYAWATI, PUPUT NOVEL, RYAN HIDAYAT,ADE IRAWAN, NYONYO SHABIER
SINOPSIS :
Film yang di produksi tahun 1980 ini di dasarkan pada sebuah cerpen karya Makmur Hendrik berjudul Jangan Menangis Mama pada sebuah majalah Femina tahun 1979.
Adegan pertama di buka dengan perkenalan keluarga Hendrik
Maulana (Sophan Sophian) dan Nona (Widyawati) pada tetangga-tetangganya yang
baru setelah mereka pulang dari Belanda. Hendrik adalah staf KBRI di Belanda.
Sebelum pulang ke
Di tengah kehangatan keluarganya, Eka merasa iri dengan Indra dan Putri karena serasa lebih di perhatikan oleh Ibu dan Ayahnya. Eka selalu menjadi kambing hitam oleh Ibunya. Ia kerap kali kena marah, sementara perlakuan terhadap Putri dan Indra sangat berbeda. Ia kerap kali di manja dan di turuti permintaannya, sementara Eka selaku mengalah dan ujung-ujungnya menjadi kambing hitam. Indra mengeluhkan TV yang ada di rumah masih hitam putih, dan ia kerap kali menonton tivi berwarna ke tetangga. Eka yang lebih paham keadaan orang tuanya akhirnya memberitahu pada Indra untuk tidak meminta ganti TV, akhirnya keduanya pun bertengkar. Ayahnya marah dan mengancam akan mengurung Eka jika berantem lagi. Namun akhirnya Hendrik berusaha membelikan TV berwarna walau dengan cara menjual piano yang sebenarnya merupakan hadiah perkawinan orang tuanya. Eka yang paling tidak setuju namun apa daya akhirnya piano dijual hanya untuk membeli TV berwarna demi Indra.
Sebenarnya sikap Eka sangat baik dan selalu membela keluarganya, namun caranya selalu salah dengan berantem lagi dan berantem lagi. Hal ini membuat ayah dan ibunya sering memarahinya. Eka merasa salah terus.
****
Suatu hari Eka meminta dibelikan skateboard pada Ibunya, namun permintaan Eka tidak dapat di kabulkan karena TV ang di belipun belum lunas. Akhirnya Eka membeli skateboard dari hasil celengannya. Namun sayang sekali skateboard tersebut patah oleh Indra. Keduanya pun akhirnya bertengkar, dan di lerai oleh Ibunya. Nona menampar Eka berkali-kali sebelum tahu duduk persoalannya, namun setelah tahu akhirnya Nona meminta maaf pada Eka.
Sementara itu Eka memiliki kenalan dengan seorang anak yatim piatu yang dapat menghidupi dirinya sendiri. Ia pun akhirnya berteman.
******
Eka dituduh menjatuhkan meja TV yang membuat nona marah besar dan memukul Eka dengan keras. Bahkan hingga Eka di kurung di kamar mandi. Namun akhirnya di ketahui kalau Indralah yang sebenarnya bersalah. Dalam tidur malamnya Eka mengigau. Dan pagi harinya Eka pun pamit pada ayah dan ibunya kalau ia akan pergi (berangkat sekolah). Namun itulah pamit terakhir Eka sebelum akhirnya Eka pergi sekolah dan tidak pulang kerumah lagi. Di rumah Nona menyesali dengan perbuatannya yang selalu naik darah dan marah-marah pada Eka. Namun Ini penyesalan yang telat, karena Eka telah pergi. Eka terlanjur kecewa dan merasa selalu di persalahkan.
Nona cemas karena Eka tidak pulang-pulang. Akhirnya ia
menyusul suaminya di tempat kerja untuk mencari Eka. Namun Eka tidak di
ketemukan juga. Segala upaya di tempuh
untuk mencari Eka termasuk ke lapor ke polisi dan media
Hingga suatu hari Nona mendapati Putri sedang bermain
harmonica yang setelah ditanya harmonica tersebut di kasih oleh Eka. Akhirnya
Nona sadar, kalau Eka masih hidup dan berada di
Setelah memberitahu dimana keberadaan Eka, akhirnya Nona dan Hendrik menuju tempat tinggal Eka yang sedang sakit yang akut. Akhirnya Eka sembuh dari masa kritisnya, dan keluarga ini bersatu kembali.
*****
Menyaksikan Buah Hati mama kita akan terbawa suasana baik karena ilustrasi musik yang cukup bagus maupun dari segi jalan ceritanya yang masih orisinil.
Sophan Sophian dan Widyawati tidak diragukan lagi aktingnya , dan ia mampu membuktikan di film ini keduanya bermain sanga bagus. Film ini juga tercatat sebagai nominasi pemeran wanita terbaik melalui Widyawati dan Tata Sinematografi terbaik melalui Ismaun pada FFI 1981.
No comments:
Post a Comment