Kadang mata ini terbelalak, kaget dari yang semula hanya jadi bahan cerita akan tetapi setelah mata ini melihat, barulah percaya bahwa ibukota ini memang kejam.
Suatu sore ketika itu sehabis dari Jl. Garuda dengan menaiki Bus Jurusan Grogol – Pulogadung, tiba-tiba tangan ini terusik untuk mengucek-ucek mata, seolah tak percaya apa yang aku liat. Pemandangan yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Ternyata benar-benar terjadi apa yang namanya gelandangan dan benar-benar dibawah jembatan. Pemulung itu tinggal dibawah jembatan didaerah kemayoran. Sementara sebagai sarana MCK mereka memanfaatkan kali yang berada dibawahnya dengan air yang menghitam karena limbah rumah tangga. Terbayang olehku seandainya mandi di air seperti itu, mungkin aku langsung gatal-gatal dan alergi karena mandi dengan air yang sangat kotor dan bau.
Kemudian juga cerita seorang gelandangan yang mengais makanan di tong sampah, dan ini benar-benar aku lihat seorang pemuda, pemulung dia memakan bekas makanan yang dibuang di tong sampah di daerah pasar minggu. Yah sisa makanan itu masih dalam stereofoam warna putih. Mata ini tidak tega untuk melihat, ternyata dijaman yang pemerintahnya serba berkecukupan, yang pejabatnya berlimpah harta dengan mobil ber AC berseliweran dijalanan ibukota yang berbelanja di pusat perbelanjaan besar masih saja ada orang yang makan dengan mengais sampah. Terasa sangat timpang sekali, yang kaya bertambah kaya, dan yang miskin semakin terpuruk.
Di lain waktu terlihat pasangan suami istri dengan 3 orang anaknya yang masih kecil ditambah 1 orang yang masih dalam kandungan menjalankan profesinya sebagai pemulung. Si Bapak menyeret gerobak dengan 2 penumpang anaknya sementara si Ibu dengan seorang anak di perutnya sambil menggendong anaknya yang paling kecil mengikutinya dari belakang. Mereka tampak dekil dan tidak terurus. Terbayang olehku seberapa besar pendapatan mereka sehingga mereka mampu menghidupi keluarganya.
Akan tetapi itulah keajaiban Illahi, Ia tetap bisa memberikan rejeki pada makhluknya sehingga mampu meneruskan kehidupannya. Pemandangan pemulung dan sejenisnya sudah sangat biasa di Ibukota ini, apalagi mereka seolah berlomba-lomba untuk bisa hidup di Ibukota.