Thursday, July 10, 2008

Kemarau



KERING


2004



Mentari membakar diri


sebarkan terik


Bumi menguap lesu hembuskan nafas lelahmu


Meretak dinding-dinding kulitnya


Airmatanya telah mengering


Tak mampu membasahi retak kulitnya


Bumi kian panas



Mentari berbisik lirih


Menyaksikan daun-daun gugur


Yang menyisakan ranting-ranting kering


Dan cawan-cawan yang mulai mengering


Tinggalkan lumpur setengah pecah


Mentari tak bisa berkata tak pula berdosa


Terus membakar diri terangi alam ini



Dilereng perbukitan kecil dan diarea kosong


Alang-alang menguning kehausan


Mengering tinggalkan asa tak pasti


Dan debu bersorak tebarkan pesona


Meneriakkan yel yel kegembiraan


Lalu diam ketika tak ada ketawa


Alamku kekeringan



Kemarau kini mulai melanda sebagaian besar wilayah Indonesia. Panas terik suhu matahari pada siang hari, akan tetapi semilir angin dingin di sore hari. Debu beterbangan dimana-mana, sawah-sawah penduduk yang hanya mengandalkan air tadah hujan mulai retak, air tidak lagi membasahi sawah petani karena di hisap oleh panas matahari kemarau. Bagi sebagian besar petani yang tidak mendapatkan air dari system irigasi ini merupakan malapetaka tersendiri, ketika rumpun-rumpun padi yang belumlah menghasilkan padi ikut kekeringan padahal para petani telah mengeluarkan uang untuk itu.



Kemarau sebenarnya merupakan siklus rutin di Indonesia, artinya siap atau tidak siap kemarau itu pasti akan hadir. Memang sih ketika kemarau tiba segalanya seolah coklat, daun-daun menguning, tanah berdebu dan panasnya terik.


Bagi penduduk kota besar yang hidup dengan mengandalkan air dari PAM misalnya, kemarau seperti ini tidak akan terasa, karena mereka memang tidak pernah merasakan kekurangan air, tidak pernah merasakan dalamnya sumur air yang untuk mandi saja kadang-kadang susah, dan mereka juga tidak pernah merasakan tanah yang retak karena mereka memang tidak pernah menginjak tanah.



Tapi bagi penduduk daerah, penduduk pedesaan kemarau seperti ini sangat terasa. Ketika sawah-sawah mulai kehausan, ketika air sumur mulai mengering, bahkan banyak yang mengandalkan air sungai untuk kehidupan sehari-hari.


Bagi kebanyakan orang, kemarau menyisakan rasa yang perih, apalagi bagi para buruh tani yang ketika kemarau tidak dapat perkerjaan. Pekerjaan mereka tergantung dari bertani. Lantas keadaan yang demikian bisa dibilang keadaan ‘paceklik’. Wah pasti banyak yang asing dengan kata paceklik. Di daerah-daerah pedesaan yang kekurangan air, dimana kebun-kebun juga tidak bisa menghasilkan. Pisang yang tumbuh dengan seenaknyapun kadang-kadang ikut-ikutan kering, sehingga tidak bisa menghasilkan pisang untuk di makan.



Kadang keadaan kemarau seperti ini banyak sekali yang ‘butuh’ untuk makan. Entah kenapa masa kemarau seperti sekarang-sekarang ini biasanya banyak maling berkeliaran. Aku juga gak tau, tapi mungkin karena tuntutan untuk tetap bisa makan.



Memang kemarau pada bulan-bulan seperti sekarang belumlah luar biasa. Biasanya kemarau akan berlangsung sampai Oktober. Akan tetapi tetap kita harus waspada dengan segala kemungkinan yang ada. Kemarau banyak maling, kemarau kering dan mudah terbakar.



Kemarau dan kering…… debu…… asap….. adalah pemandangan sehari-hari. Bencana kebakaran juga kerap terjadi di musim kemarau. Entah itu kebakaran hutan maupun kebakaran yang melanda perumahan.


Kalau wilayah Jakarta sendiri sih kemarau sama hujan gak jauh beda. Perbedaan mencolok justru kalau hujan Jakarta pasti banjir. Kalau kemarau, air gak begitu pengaruh sih……..


Mari tetap waspada dengan siklus tahunan ini.


No comments:

Post a Comment